Identifikasi Undang-Undang dan Perda yang Mengatur Tentang Penyakit Masyarakat
Definisi penyakit masyarakat di sisi yuridis kalau kita lihat di dalam ketentuan aturan sedikit banyak yang bisa disampaikan kaitannya dengan penyakit masyarakat ini ada dalam ketetapan MPRS Tahun 1960, disitu disebutkan ada beberapa gejala sosial dimana terjadi sebuah gejala yang mempengaruhi keadaan sosial masyarakat dimana kemudian masyarakat tidak bisa menjalankan seluruh fungsi sosialnya.
Wujudnya apa?
Di dalam Ketetapan MPR
Tahaun 60 disebutkan bahwa penyakit masyarakat ini yang pertama adalah berkaitan
dengan pengemisan, yang kedua berkaitan dengan perjudian, ketiga berkaitan
dengan pelacuran, dan yang keempat adalah pemabukan atau bermabuk-mabukan
dimuka umum.
Persoalan penyakit sosial
(masyarakat) juga erat kaitannya dengan permasalahan pelanggaran terhadap Hak
Asasi Manusia. Jika dikaji lebih subyektif, banyak bentuk penyakit sosial yang
melanggar hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A sampai
28 J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Secara
lebih rinci persinggungan dengan Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari
munculnya penyakit sosial juga terdapat pada substansi pasal per pasal
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Telah cukup jelas bahwa pada
hakikatnya penyakit sosial ternyata memiliki keterkaitan yang erat dengan
norma-norma yang ada di masyarakat. Penentangan terhadap norma-norma sekaligus
nilai-nilai yang hidup, tumbuh kembang di masyarakat merupakan suatu bentuk
awal dari timbulnya berbagai penyakit sosial. Semakin variasinya jenis, akibat,
dan dampak dari munculnya penyakit sosial maka akan semakin kuat juga komitmen
masyarakat untuk memperbaiki dan mempertegas norma-norma dan hukum yang diakui
pada masyarakat. Bahkan, tidak jarang untuk mengantisipasi penyakit sosial
tersebut, masyarakat membuat kaidah-kaidah sendiri. Hal tersebut merupakan
suatu bentuk konklusi keinginan masyarakat yang tidak ingin lingkungannya
terancam dengan adanya penyakit sosial.
Mengapa terdapat hal-hal
tersebut?
Karena memang gejala-gejala
seperti itu secara patologis (ilmu tentang penyakit sosial atau penyakit
masyarakat) disebutkan bahwa apabila dibiarkan maka akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan masyarakat itu sendiri tidak akan menjalankan fungsi-fungsi
dalam kemasyarakatannya. Kalau gejala-gejala tersebut dibiarkan maka bukan
tidak mungkin akan menjurus ke pelanggaran hukum. Bila kita berbicara tentang
pelanggaran hukum maka disitu ada ketentuan undang-undang hukum pidana.
Satu contoh disebutkan yaitu
tentang pengemisan, kita bisa melihat pada KUHP yang disebutkan bahwa ‘pengemisan
adalah sebuah tindak pidana walaupun disitu hanya sebagai sebuah pelanggaran’ artinya
bahwa ketika seorang melakukan tindakan mengemis (pengemisan adalah
meminta-minta dengan menunjukkan rasa agar seseorang merasa belas kasihan
kepada orang yang tidak mempunyai kewajiban), jadi orang yang tidak mempunyai
kewajiban memberikan sesuatu dimintai dengan menunjukkan belas kasihan. Ketika
hal itu terjadi sebenarnya adalah sebuah pelanggaran, kalau kita bicara pada
konsep hukum pidana sanksi pidananya maksimum tiga bulan.
Hal kedua yang berkaitan
dengan penyakit masyarakat adalah perjudian. Perjudian tidak termasuk dalam
tindak pelanggaran namun dalam KUHP pasal 303 termasuk dalam kejahatan dan
hukumannya maksimal 10 tahun.
Ketiga, adalah pelacuran.
Sekarang ini pelacuran sudah dima’fumkan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK),
dari sisi penegakan hukum saja itu merupakan sebuah kemunduran karena dalam
konteks UU kita dalam KUHP disebutkan ada istilah perzinaan. Memang dalam KUHP
kita tidak ada satu aturan pasal pun yang mengatur tentang pelacuran, tetapi
jangan lupa di dalam KUHP juga mengatur orang-orang yang mengorganisir
memperoleh keuntungan dari profesi tersebut (pelacuran) istilahnya adalah germo
dan mucikari, hal itu sangat jelas sekali disebut sebuah tindak
kejahatan. Berkaitan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dalam mencegah
terjadinya kejahatan dengan memberantas penyakit-penyakit masyarakat, tentunya
aparat penegak hukum (kepolisian) berhak melakukan tindakan represi terhadap
penyakit-penyakit masyarakat yang sudah secara jelas sebagai sebuah kejahatan.
Terakhir, pemabukan atau madat (mabuk). Mabuk dalam aturan UU termasuk sebuah pelanggaran.
Contoh Kasus Penyakit Masyarakat
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK
NOMOR 2 TAHUN 2015
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan.
Salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit masyarakat ini yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Demak dengan mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat pada salah satu bab yaitu: Bab V tentang Gelandangan dan Pengemis Pasal 8 menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan menggelandang atau mengemis di wilayah Kabupaten Demak”.
Cara Mengatasi Penyakit Masyarakat
( Gelandangan dan Pengemis )
Pemerintah melalui Dinas Sosial Kabupaten Demak melaksanakan implementasi Perda Kabupaten Demak No. 2 Tahun 2015 yaitu dengan cara:
a) Pendataan
b) Pemantauan, pengendalian, dan pengawasan
c) Kampanye dan sosialisasi.
Kemudian Dinas Sosial bekerjasama dengan dinas terkait seperti Satpol PP dan LSM, melakukan pendataan dan kegiatan pemantauan, pengendalian, serta pengawasan yang di lakukan degan cara kegiatan patroli ke tempat aktivitas gelandagan dan pengemis. Lalu Dinas Sosial yang bekerjasama dengan instasi terkait malukukan temu bahas. Setelah diketahui lebih dalam maka diadakan pendampingan secara individual, bimbingan secara rutin dan bekesinambungan untuk keluarga dan mereka yang terjaring. Dinas Sosial juga menentukan bagi yang terjaring akan dikembalikan ke lingkungan masyarakat baik itu diikutkan dalam pendidikan secara formal maupun non-formal secara bersyarat yang berarti tidak akan kembali melakukan aktivitas di tempat semula atau tetap tinggal di panti guna dilakukan pengrehabilitasian sebelum dikembalikan ke lingkungan.
Program untuk Mengatasi Penyakit Masyarakat
( Gelandangan dan Pengemis )
Program penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan Pemerintah dalam bentuk pelayanan rehabilitasi sosial/panti yaitu dengan mendapatkan bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Sehingga melalui Dinas Sosial Kabupaten Demak diupayakan ketersediaan pelayanan dalam rangka ketuntasan pelayanan, program kelompok usaha bersama, tujuannya bagi gelandangan dan pengemis purna bina yang tentunya diberikan secara selektif ini mempunyai harapan agar nantinya dapat memperoleh hak hidup layak, produktif dan normatif di tengah masyarakat.
Saran Untuk Mengatasi Penyakit Masyarakat
( Gelandangan dan Pengemis )
1. Kepada pemerintah perlu meningkatkan ketertiban, Kebersihan, dan keindahan objek wisata termasuk dalam penanganan keberadaan gelandangan dan pengemis yang ada di pintu utara Masjid Agung Demak, agar tercipta sapta pesona pariwisata.
2. Kepada Pemerintah Daerah seharusnya mensosialisasikan peraturanperaturan yang berlaku di Kawasan Wisata Masjid Agung Demak termasuk mengenai Perda No.2 Tahun 2015, sehingga para peziarah mengetahui dan tidak hanya ditempel di halaman Masjid.
3. Dinas Sosial harus dapat menyampaikan Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan bimbingan kewirausahaan untuk dilaksanakan dengan baik hingga kembali ke masyarakat, dan mereka akan mampu menghadapi persaingan pasar yang berkembang di masyarakat.
Dampak yang ditimbulkan
Dampak yang ditimbulkan oleh masalah kemiskinan sangat luas dan sangat kompleks sifatnya mengingat berkaitan dengan aspek kehidupan, seperti aspek psikologi, aspek sosial, aspek budaya, aspek hukum dan aspek keamanan. Secara sosial ekonomi kondisi kemiskinan yang menahun di desa maupun di kota dengan segala sebab dan akibatnya, seperti kurangnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang kurang memadai, lahan semakin menyempit, jumlah penduduk desa semakin bertambah, menyebabkan perpindahan penduduk di desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih.
Komentar
Posting Komentar